‘Never let your past defines your future’ – sepotong nasihat yang kuterima ketika lunch meeting bersama seorang teman yang baru saja promosi jadi manager di sebuah consultancy firm. Potongan nasihat itu mengena. Dan beberapa waktu belakangan, beberapa orang di sekitarku cukup punya concern soal masa lalu mereka – juga bagaimana mereka berusaha terus melangkah maju. Ada yang rapuh, ada yang tangguh.
Sebut saja A. Dalam sebuah ruang kerja menyampaikan kekhawatirannya karena dia merasa apa yang dia lakukan selama ini untuk sebuah tujuan, akan sia-sia karena beberapa alasan masa lalu. Sorry, aku tidak bisa cerita detil apa yang dia hadapi. Tapi menurutku pribadi – alasan kekhawatirannya cukup semu. Ini cuma ada dalam pikirannya, yang kemudian justru mengganggu proses dia melangkah ke depan. Sesaat A cerita, rekan lain tiba-tiba menimpali ‘I don’t have a space for my past. We simply need to learn from that, and nothing else.’ Cukup seru hari itu.
Beberapa hari kemudian, A menyampaikan kekhawatiran yang sama.
Pada kesempatan lain, aku bertemu B. Seolah menonton drama, aku cukup merinding mendengar cerita tentang apa yang harus dihadapi oleh B di masa lalunya. B dalam kondisi yang cukup berada, tapi harus ambil beberapa keputusan dan lalui semuanya. Di akhir cerita, B mengucap ‘aku harus terus melangkah, aku sudah mengampuni orang-orang itu’.
B kemudian tidak pernah membahas kesakitannya di masa lalu dengan sedih hati di depanku.
Setelah A dan B. Aku juga bertemu M yang mengirim WA dan mendiskusikan soal ‘penyesalan’ akibat keputusan di masa lalu. Bersamaan dengan pertanyaan dari M – ada email yang masuk dari seseorang yang memintaku menulis tips soal ‘making a right decision’ (agar tidak menyesal). Well, tampaknya berlanjut dan membuat semacam rantai yang justru menjadi penguatan buat diriku sendiri.

Sepemahamanku, hidup adalah rangkaian dari keputusan. Dalam setiap keputusan yang kita ambil, resiko mungkin bisa kita minimalisir – tetapi konsekuensi harus kita hadapi. Oleh sebab itu, penting saat membuat keputusan untuk kita tahu konsekuensi apa yang harus kita hadapi selanjutnya, bagaimana kesiapan kita untuk hadapi, dan berapa muatan (bobot/’harga’) masing-masing konsekuensi dan kita dapat lakukan ‘trade-off’ dengan bijak. Pada akhirnya, tentu keputusan yang benar dan salah bersifat sangat subjektif dan kontekstual. Semacam bagiku keputusanku, bagimu keputusanmu. Konflik-konflik yang terjadi di sekitar keputusan itu harus juga disikapi dengan baik – yang membutuhkan proses pengambian keputusan lainnya.
Kembali ke A dan B. Semuanya punya masa lalu yang menurut mereka (menurutku juga) cukup kurang nyaman. Perbedaannya adalah pada pola pikir dan sikap hati. Memang itu juga dipengaruhi karakter bawaan lahir – tapi aku rasa penguasaan diri untuk berpikir dan mengambil sikap hati bisa kita latih terus menerus.
Banyak orang yang karena masa lalunya makin rapuh dan terpuruk di masa depan. Banyak juga yang justru karena masa lalunya menjadi semakin tangguh dan jadi pribadi yang menginspirasi banyak orang. Lagi-lagi, kondisi orang per orang sangat subjektif dan kontekstual. Kondisi yang dihadapi A bisa dibilang B kurang nyaman, padahal A merasa biasa saja atau malah berbahagia – dan sebaliknya. Masing-masing kita perlu dengan sadar memahami bagaimana kita menjalani setiap hal yang terjadi saat ini.
Soal penyesalan, aku pribadi percaya bahwa tidak ada satu pun keputusan yang kita ambil dan jalani di luar kendali Sang Sutradara. Penyesalan adalah state of mind dan respon hati pada kondisi saat ini dengan menyalahkan masa lalu. Buat orang-orang yang mampu menguasai diri dan memainkan perspektif bahwa segala sesuatu terjadi untuk membawa kita kepada kebaikan berdasarkan rancangan Sang Sutradara, maka penyesalan hanya bumbu hidup sekejap (karena mungkin dalam beberapa waktu kita merasa kehilangan momen dan hidup kita butuh waktu untuk membuat pola hidup baru) – yang tidak berlarut.
At the end of the day – masa lalu harus terjadi karena kita perlu bergerak untuk masa ini dan masa depan. Apa yang terjadi pada masa lalu acap kali tidak sesuai dengan harapan kita. Tapi bukan berarti itu harus menurunkan semangat positif kita untuk hari depan. Apa yang terjadi terjadilah. Tapi pikiran dan sikap hati: semuanya ada dalam pikiran kita – semuanya dalam kendali kita.
#catatansingkat – @yosea_kurnianto