Tadinya gue males sih ceritain ini, agak memalukan gimana gitu, tapi tergelitik juga akhirnya. Jadi gue lagi nunggu info tentang visa ke sebuah negara yang kalau di peta hampir ga keliatan – karena bentuknya ‘cuma pulau’ – dan ga punya kedutaan di Indonesia. Pas gue cek di website negaranya, cuma sedikit negara yang butuh visa ke sana, salah satunya Indonesia. Gemes sih rasanya, dan tetiba keinget pengalaman-pengalaman dari dulu soal paspor dan visa; sampai yang terakhir kemarin ‘diangkut’ di imigrasi perbatasan China dari Mongolia.
Sekilas balik dulu, pertama kali gue ke luar negeri pas awal kuliah, gue banyak ditanyai banyak di imigrasi – dikira gue akan jadi semacam TKI (illegal) gitu? Padahal kali pertama gue keluar negeri adalah karena delegasi Indonesia buat sebuah acara kepemudaan. Dan, waktu masuk Eropa di awal kuliah dulu juga sama. Gue diundang untuk pertemuan program yang didanai sama Raja Swedia dan (almarhum) Raja Arab, tapi gue ditanyai banyak banget – semacam ‘refugee’, sampe gue akhirnya keluarin ‘surat sakti’nya. Hahaha, ini karena muka gue atau karena passport gue Indonesia yah? Hahaha…

Well, pengalaman terakhir gue terkait ini adalah pas tengah tahun lalu ikutan program dari Asia Europe Foundation untuk travelling 1 bulan sambil belajar di Russia, China, dan Mongolia. Pesertanya 47 orang, masing-masing negara cuma 1 orang. Langsung aja cerita soal per-passport-an ini 🙂
Rute travelling program itu adalah Beijing – Harbin – Vladivostok – Chita – Irkutks – Ulanbatar – balik lagi ke Beijing. Masuk Beijing pertama kali aman, proses imigrasinya cepet. Dari Beijing ke Harbin naik kereta kapsul sekitar 6-7 jam. Dari Harbin naik kereta lagi, hingga sebuah perbatasan, pindah bus dan masuk imigrasi perbatasan. Nah sorry banget gue lupa nama perbatasannya, dan di area itu ga boleh foto. Di sini, beberapa passport diminta oleh petugas imigrasi untuk didokumentasikan, termasuk passport gue. Kalau ini, kata mereka, sebelumnya belum pernah ada orang dari negara yang passportnya diminta itu lewat di perbatasan ini.
OK, masuklah gue ke Russia dengan aman. Dapet pengalaman setengah rute kereta Trans-Siberian dan keunikan-keunikannya (cerita detilnya lain kali ya). Keluar dari Rusia ke Mongolia pake kereta juga: pas di perbatasan petugas imigrasi Russia masuk ke gerbong-gerbong, dia pake semacam device (yang menurut gue canggih) untuk periksa dan cap passport. Pas dia dapet passport gue, dia ambil device lain untuk tes keasliannya. Petugas itu dengan detil ngeliatin dan ‘nginceng’ pake devicenya. Temen se-kabin gue dari Eropa nyeletuk ‘kayaknya dia belum pernah pegang passport Indonesia, atau ga tahu Indonesia itu di mana’. Kzl gak?

Nah, masuk Mongolia agak beda. Petugas imigrasi datang ke gerbong-gerbong untuk ngambilin passport dan mereka bawa ke kantor imigrasi mereka. Selesai dicap, mereka balik lagi dan dibagiin ke penumpang kereta. Di Ulanbatar dan beberapa kota di Mongolia, pengalaman yang gue dapet juga cukup unik. Tapi fokus tulisan ini bukan di situ. Hahaha..
Lanjut, dari Ulanbatar kita naik kereta lagi menuju Beijing sebagai tujuan akhir. Keluar dari Mongolia, prosesnya lancar dan aman. Nah pas masuk perbatasan China:
Petugas imigrasi China ambil passport semua penumpang dan dibawa. Pas masuk kabin gue, dia ambil passport dan keluar. Oya, di kabin gue ada 4 orang. Saat itu kita lagi main kartu UNO. Dan petugas imigrasi yang ambil passport gue teriak ke temennya ‘Indonesia’ dengan nada tanya. Selang sedikit waktu, ada petugas imigrasi lain yang pegang passport gue dan datang ‘would you please come with me?’. OK, berasa ada yang ga beres, gue sudahi permainan UNO dengan 3 temen gue dan ikut dia – pake kaos plus jaket, celana jeans, dan sandal (karena udah malem banget).
Ternyata bukan cuma gue, tapi ada 4 temen lain di program yang sama: dari Pakistan, Kazakhztan, Thailand, dan Malaysia udah di gerbong depan. Kereta berhenti. Kita turun didampingi belasan petugas imigrasi keluar stasiun, kemudian diminta naik bus, dan bus berhenti di kantor imigrasi kota itu. Oya, nama kotanya Erlian.
Rasanya campur aduk, kenapa nih? Sampai di kantor imigrasi, kita dipanggil satu-satu untuk difoto; dan di komputer mereka ada foto-foto ‘suspect’! Wuanj*r. Foto kita semacam dianalisa kemiripan dengan ‘suspect-suspect’ itu. Harga diri gue berasa dicabik-cabik. Nambah lagi, temen gue yang dari Pakistan di passportnya pernah datengin hampir semua negara yang lagi konflik di Timur Tengah. Yang untungnya setelah dia jelasin, itu semua adalah tugas dan/atau undangan dari United Nations.
Hahaha.. Udah gitu, kita terus ditanyain ‘Why do you come to China?’ – dan untungnya teman kita dari Malaysia yang keturunan Chinese bisa jelasin ‘We are invited by your Ministry of Foreign Affairs’ – dan para petugas itu baru sadar kalau kita ini satu rombongan. KZL minta ampun.
Kita nunggu lama. Karena di setiap perbatasan negara, kereta akan diganti rodanya sesuai spek yang berlaku di negara tersebut. Alhasil karena lama banget, temen gue dari Pakistan yang cukup gokil itu memecah suasana, ‘Can we have some tea and snacks?’ – OMOOO! Lagi masuk golongan suspect kok berani-beraninya minta ‘service’ lebih.
Tapi mengejutkan, mereka jawab yang intinya kalau teh mereka ga punya. Tapi mereka keluarin air putih dan berbagai macam snacks. Dan sebelum kita jalan lagi, temen-temen gue minta foto di depan kantor itu. Hahaha.. ‘we had a free city tour beyond the program’ celetuk salah satu temen gue.

Kereta akhirnya lewat di kantor tempat kita ‘disimpan sementara’. Kita digiring masuk lagi ke kereta, dan karena berita ‘dibawanya’ 5 orang ini, teman-teman peserta lain menunggu di kereta dan nyorakin pas kita masuk kereta lagi.
Gue sempet berpikir kalau apa yang terjadi di kantor imigrasi itu mungkin cuma formalitas biar petugas imigrasi di sana ada tambahan kerjaan. Hahaha.. Tapi ternyata nggak loh.. Pas gue akhirnya selesai semua program mau balik ke Indonesia, petugas imigrasi di Beijing memanggil supervisornya pas gue kasih passport gue. Kayaknya di komputernya ada catatan sesuatu. Hingga akhirnya supervisor itu cek dan memperbolehkan gue masuk ke dalem bandara; sambil diliatin petugas imigrasi tadi.
Hahaha, sampai di Indonesia gue kadang masih kesel-gemes gimana gitu; perasaan gue orang baik-baik, tapi passport Indonesia membuat orang curiga tentang gue. Dan proses nunggu info visa ke sebuah negara yang bentuknya ‘cuma’ pulau ini juga bikin gue merenung; segede ini Indonesia, tapi banyak negara yang belum ‘percaya’ sama kita. Kalau ditelusuri ‘kenapa-kenapa’nya gue bisa cukup paham sih, emang jadi PR berat buat Indonesia untuk ‘benerin’ citranya di dunia internasional. PR gue juga sih 🙂 – dan gue masih cinta sama Indonesia, dengan kebhinekaannya.
@yosea_kurnianto