Ada Pesan yang Aku Terima dari Pemilik Perahu di Komodo

Beberapa hari lalu aku tulis gimana aku coba review dan lakukan refleksi atas apa yang terjadi selama 2016. Beberapa hari terakhir juga entah secara kebetulan atau bagaimana, aku bertemu dan ngobrol dengan beberapa rekan yang menceritakan bagaimana kehidupan mereka cukup rumit di tahun ini. Mendengarkan cerita rekan-rekan tersebut, aku bersyukur bahwa ternyata apa yang aku alami tidak seberapa dibanding dengan apa yang mereka alami. Dalam kesempatan itu juga, aku mendapat banyak inspirasi dan pembelajaran bahwa memperjuangkan sesuatu yang mereka anggap mulia, meski kondisinya berat, akan membuat orang menjadi lebih kuat.

Aku tetiba teringat obrolanku di bulan Maret lalu dengan seorang pengemudi perahu yang antarkan aku dan wisatawan lainnya untuk melihat Komodo. Saat itu aku berangkat dari Jakarta ke Labuan Bajo bersama seorang teman lama dari Jerman. Salah satu alasan kami ke Flores memang untuk melihat Komodo. Sesampai di Labuan Bajo, kami coba cari-cari informasi dan harga termurah yang bisa membawa kami ke Pulau Rinca, salah satu pulau yang dihuni Komodo. Dengan ngobrol sana-sini, ada agen yang tawari kami untuk membayar Rp 300ribu per orang untuk ikut 1 day trip ke Pulau Rinca dan snorkling di 3 lokasi. Kami mengambil tawaran itu, karena tergolong paling murah di area tersebut, saat itu. Keesokan harinya kami berangkat.

20160312_105504
Komodo yang menyambut kami

Pagi itu ada sekitar 11an orang yang semuanya adalah wisatawan mancanegara, cuma aku yang berbahasa Indonesia. Kami berkumpul di lokasi agen dan kemudian diantarkan untuk masuk ke dalam sebuah perahu. Belum juga duduk di perahu itu, seorang paruh baya yang tampaknya pemilik perahu berteriak, ‘Ah, apa kau ikut-ikutan? Tidak bisa, nama kau tak terdaftar di sini. Sana kau keluar!’. Seorang muda dari agen yang mengantarkan kami ternyata menjadi tujuan teriakan itu. Sepenangkap saya, pemilik perahu tidak terima ada ‘tambahan penumpang’ di luar list yang sudah ia buat berdasarkan data dari agen – meski anak muda itu perwakilan dari agennya. Pemilik kapal sempat menyinggung soal perijinan dan sebagainya, tapi aku masih belum begitu menangkap duduk permasalahannya. Perahu kami kemudian berangkat; 11an orang penumpang, 1 awak perahu, dan sang pemilik perahu.

Sudah cukup jauh perahu kami melaju, aku coba ambil duduk di ujung kapal paling depan untuk menikmati suasana. Sang pemilik perahu kemudian berjalan mendekat dan duduk di sebelahku. Kami pun berkenalan. Sebut saja beliau Pak J. Awalnya ia bertanya saya dari mana, kenapa bisa datang bersama wisatawan mancanegara, berapa hari akan tinggal di Flores dan sebagainya. Hingga akhirnya cerita ini aku dengan dan masih aku ingat sampai sekarang:

“Nanti minta tolong disampaikan ke teman-teman penumpang yang lain (karena bahasa Inggris saya kurang lancar), saya mohon maaf karena tadi di awal berteriak-teriak ke si agen. Saya tidak suka jika mereka main seenaknya sendiri nambah-nambah penumpang diluar list nama yang sudah disampaikan sebelumnya. Saya harus urus ijin nama-nama penumpang ini di kantor pelabuhan, kalau sampai ada pemeriksaan dan ketahuan ada tambahan penumpang, saya yang kena. Agen pasti tidak mau tahu. Saya sering jengkel sekali dengan agen-agen itu. Coba sekarang kamu bayar berapa untuk trip ini?’

“Rp300ribu Pak – tapi memang tidak termasuk tiket masuk Taman Nasional Komodo nanti” jawabku.

“Nah itu, kau bayar 300rb. Penumpang yang lain pasti tidak ada yang serendah itu, pasti 500an ke atas – tadi saya ada sempat tanya ke yang baju ungu, dia bayar 700rb – sama juga, tanpa tiket masuk Taman Nasionalnya. Kalau rata-rata segitu, dikali 11 orang, dapat berapa? Kau tahu yang agen kasih ke saya? 650ribu! Kalau saya mau minta naik, agen akan kasih ke kapal lain yang mau segitu.”
“Wah, 650ribu itu udah semua perjalanan Pak? Solar dan sebagainya?” aku mencoba menggali cerita Pak J.

“Ya kira-kira solar bolak-balik untuk ini 400rb. Saya harus bayar perijinan dan biaya di pelabuhan 100rb. Itu saya juga perlu bayar awak kapal 50rb. Jadi saya terima bersih satu hari 100rb saja. Kau bayangkan berapa untungnya itu agen-agen di atas sana? Itu kenapa saya sering kesal kalau mereka seenak sendiri, mereka ini sebenarnya bukan orang lokal. Datang sebentar, bikin agen, mereka sudah bisa beli mobil dan pergi saja.” Raut muka Pak J terlihat sangat tegang.

Daripada menambah ketegangan dengan tanya macam-macam soal itu, “Oh, kenapa perahu ini namanya Karmila Pak?” aku coba alihkan bahasan pembicaraan.
Ia kemudian bercerita: “Karmila itu nama anak saya. Anak satu-satunya. Ini perahu Karmila 2. Jadi sebelumnya sudah pernah punya juga nama Karmila. Saya beli perahu dulu dengan sedikit warisan orang tua dan kumpulkan uang sendiri. Ya bagaimana ya, mau kerja apa lagi saya sudah setua ini.”

Dalam beberapa menit selanjutnya kami saling cerita ini itu sana sini. Saya menangkap ada kekecewaan namun sekaligus daya juang dan harapan yang ia terus coba untuk jaga. Ia menyadari bahwa memang perubahan terus terjadi dan ia berusaha mengikuti perkembangan dunia dari penumpang-penumpangnya.

Kami sampai di Pulau Rinca. Dengan bahasa Inggrisnya yang terbatas, Pak J memberikan instruksi kepada penumpang untuk turun dan membeli tiket masuk taman nasional Komodo, serta untuk kembali ke perahu 2 jam kemudian. Saya dan penumpang lainnya bersepakat untuk mengambil 1 guide saja dan menelusuri taman nasional bersama-sama. Saat beli tiket, penumpang yang lain cukup kaget karena harga tiket untuk saya (orang lokal) sangat murah, sedangkan untuk wisatawan mancanegara cukup tinggi. Beberapa di antara mereka menyampaikan keluhan pada saya kalau jarak harga tiket lokal dan mancanegara terlalu jauh. Untuk wisatawan lokal, saya hanya cukup membayar 55rb. Sedangkan wisatawan mancanegara perlu membayara 230rb. Well, saya juga baru tahu sih saat datang ke sana.

20160313_073226
Tiket masuk untuk wisatawan lokal
Tiket masuk untuk wisatawan mancanegara
Tiket masuk untuk wisatawan asing

Oke, berjalan di terik matahari memang sangat melelahkan. Setelah kembali ke perahu, kami kemudian snorkeling di beberapa tempat. Saat snorkeling, Pak J turut serta menyeburkan diri dan mengarahkan wisatawan untuk melihat hal-hal yang menurutnya menarik di bawah laut. Saya rasa, Pak J melayani penumpang-penumpangnya dengan cukup baik.

20160312_115711
Telusuri Pulau Rinca

Kami menyudahi 1-day trip ini, namun saat sampai di Labuan Bajo, kondisinya hujan cukup deras. Beberapa penumpang ada yang membawa payung atau jas hujan dan langsung beranjak dari perahu, ada yang nekat hujan-hujanan, sedangkan aku beserta rekan dari Jerman, dan sepasang muda mudi menunggu agak reda. Dalam perbincangan sebentar, kami ber-4 bersepakat untuk lanjut ngopi dulu sebelum kembali ke hostel masing-masing. Sedikit pembicaraan di warung kopi Labuan Bajo dengan mereka sempat saya renungkan di beberapa tulisan sebelum ini.

Nah, kembali ke Pak J. Obrolan sepanjang perjalanan hari itu, baik yang aku tuliskan di atas atau tidak aku tuliskan, menjadi perenungan buatku beberapa lama. Sampai akhirnya beberapa hari lalu aku teringat lagi. Aku pernah dapat nasihat, ‘tiap orang punya penderitaannya sendiri, juga berkat dan rejekinya sendiri’ – yang kemudian kadang kita mulai banding-bandingkan diri kita tanpa ingat untuk bersyukur.

Tahun 2016 memang cukup banyak memberikanku pelajaran. Tapi saat teringat obrolan dengan Pak J – semacam diingatkan untuk bersyukur. Bahwa kehidupan memberikan kita segala – tapi dengan pikiran dan sikap kita saja lah, kita akan menerima apa-apa yang diberikan semesta.

@yosea_kurnianto

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s