Minggu kedua bulan Maret lalu saya mengajukan cuti kerja (sudah agak lama sih :D) untuk melakukan sebuah perjalanan yang tidak direncanakan jauh hari. Saya mengunjungi Flores dengan seorang teman. Saya habiskan beberapa hari di sana hanya dengan 2 misi, yaitu melihat Komodo dan mengunjungi Waerebo. Betul, Kampung Waerebo yang banyak didengungkan teman-teman saya. Akhirnya membuat saya penasaran.
Ah, saya kurang paham nulisnya Wae Rebo atau Waerebo. Tapi di tulisan ini saya sambung (Waerebo) saja supaya gampang. Singkatnya, perjalanan ke Waerebo dari Labuan Bajo tidak singkat dan tidak begitu mudah. Memang ada bus (yang dimaksud bus adalah truk besar dengan dudukan kayu) untuk ke Denge (desa terakhir sebelum proses tracking), tapi jika saya menggunakan ini saya akan perlu menginap dahulu karena perjalanannya panjang dan melelahkan. Karena waktu saya terbatas, saya memilih untuk menyewa sebuah mobil bersama rekan untuk ke Denge. Dari Labuan Bajo ke Denge naik mobil memakan waktu 6-7 jam.

Berangkat jam 8 pagi, saya sampai di Pusat Informasi Waerebo di Denge jam 3 sore. Pusat informasi ini dikelola oleh Pak Blasius. Beliau putra asli Waerebo yang tinggal di Denge karena menjadi guru SD di area tersebut. Di rumahnya juga menyediakan penginapan untuk mereka yang ingin beristirahat dulu. Setelah makan dan mendapatkan penjelasan dari beliau, kami disarankan untuk segera melakukan trecking karena khawatir hari makin gelap. Oya, makan di rumah ini kalau tidak salah Rp 35ribu/orang dan teh atau kopi Rp 5ribu per orang. Kami mulai trecking jam 4 sore. Kami sampai di atas hanya butuh 2,5 jam dengan istirahat 1 menit sebanyak 4-5 kali selama perjalanan (sok kuat yah :D).
Ada sebuah adat yang perlu dilakukan ketika pertama masuk ke kampung tersebut, yakni doa dan menabuh gendang. Di sana ada 7 rumah. Di tengah ada rumah utama. Rumah utama adalah rumah gendang, dimana adat kedatangan dilakukan. Di bagian atap rumah utama ada tanduk kerbau. Artinya simbol untuk kepala adat. Anyway, adat saat tamu datang cukup sederhana, kita diminta beri uang (jumlah uang tergantung jumlah orang, antara Rp 20ribu-100ribu) kepada semacam penghulu rumah, kemudian penghulu akan membaca doa untuk leluhur dalam bahasa Wae Luu yang kira-kira diterjemahkan secara inti begini: mereka (tamu-tamu) ini keluarga, jangan ganggu, semoga perjalanan mereka selamat. Baca beberapa blog lain, tamu disuruh menabuh gendang setelah baca doa. Tapi saat itu kami tidak diminta.
Nah, kami bermalam di rumah ke-7 yang memang disiapkan untuk tamu. Rumah ini dinamakan Rumah Niang (rumah kerucut). Bermalam di Waerebo dikenakan biaya per orang Rp 300ribu (1 malam, 2 kali makan) kalau tidak salah, biaya ini mungkin berubah dari waktu ke waktu. Di rumah ini kita ditemani pencerita bernama Marcel. Berdasarkan cerita yang saya dapatkan dari Marcel, bentuk rumah kerucut adalah lambang Ibu. Di rumah tersebut ada 9 tiang rumah, yang artinya jumlah bulan ibu mengandung. Ada 3 kayu melintang di bawah, diartikan bahwa saat 3 bulan Ibu hamil belum kelihatan, tapi merupakan masa penting (dasar). Sedangkan 5 tingkat (lantai) rumah artinya di bulan tersebut janin sudah terbentuk dan kokoh. Ukiran kayu yang ada di tiang utama rumah menghadap ke perapian, menandakan manusia lahir kepala duluan. Mereka butuh kehangatan. Ini bukan saya yang bikin filosofi, saya cuma tanya-tanya dan catat saja 🙂

Pertanyaan saya terus bergulir dari yang tidak penting sampai yang sok-sok filosofis. Kami bertanya kenapa di lembah ini hanya ada 7 rumah? Marcel cerita bahwa dulu sebelum ada Kampung, ini lembah biasa, tetapi sudah ada 7 tempat keramat yang menjaga tempat ini. Tentu saja kami tidak sempat explorasi 7 titik keramat ini. Tapi disebutkan ada 2 di bagian timur namanya Golo Mehe dan Humbel, 2 di bagian barat bernama Wae Regang dan Ponto Nao, 2 di bagian utara bernama Golo Ponto dan Ulu Waerebo, 1 di bagian selatan dinamakan Polo. Alkisah, untuk mengimbangi dan menghormati 7 tempat keramat tersebut, hanya dibangun 7 rumah saja. Jika dibangun 8 rumah, maka rumah ke 8 dimungkinkan akan paling sering membawa masalah.
Altar di depan digunakan untuk Pentas Seni sekitar November tanggal 16. Intinya untuk tahun baru budaya dan ucap syukur karena telah dilindungi. Dalam perayaan ini, ada persembahan berupa babi atau ayam putih untuk para leluhur.

Mengenai jumlah keluarga yang tinggal di kampung tersebut; rumah utama yang di tengah ditinggali 8 keluarga dari 8 garis keturunan. Sisanya tinggal di rumah kanan dan kirinya yang bertotal 20 keluarga. Entah bagaimana pembagian keturunan atau keluarga yang tinggal di kawasan ini; tapi mereka yang tidak ‘kebagian’ akan membangun rumah di luar ini. Disebutkan pula ada kampung kembaran, yakni Kampung Kombo. Kampung ini merupakan tempat anak-anak Wae Rebo sekolah dan tempat tinggal keluarga lain yang ‘tidak kebagian’ tempat di lembah tersebut. Nah, sempat juga disinggung bahwa suku asli di area ini bernama Modo. Kampung Modo ada di seberang gunung. Saat itu saya belum begitu tertarik mendalami suku Modo, saya lebih tertarik kenapa akhirnya ada kampung Waerebo ini.
Sebelum melanjutkan cerita, saya sedikit tanya kapan pastinya kampung ini berdiri. Jawaban yang saya dapatkan memang kurang memuaskan. Marcel hanya menjelaskan bahwa Kampung ini sebenarnya cukup lama berdiri. Kira-kira di generasi ke 14 tapi Kampung ini, Portugis datang dan menyebarkan agama Katholik. Nah, saat ini Marcel merupakan generasi ke 19. Cukup lama juga ya 🙂
Oke deh. Saya suka perjalanan, cerita, dan pemandangan yang ada di Waerebo ini. Namun akhirnya sampai pada cerita yang jujur membuat saya terhenyak. Awalnya yang saya pikir kampung ini cukup otentik, langsung luluh ketika saya mendengar Marcel dengan bangga menyampaikan bahwa leluhur kampung Waerebo dari Minangkabau. Wait. Minang? Really? Oke. Begini yang Marcel ceritakan:
Leluhur mereka dari Minang berlayar ke Gowa dan kemudian berlayar ke Bajo (saat itu belum bernama Labuan Bajo). Kampung Waraloka adalah kampung pertama Minangkabau saat datang di Flores. Beberapa waktu setelahnya, mereka berlayar lagi ke Iteng (semoga tulisannya benar), sebelah timur Waerebo. Sekelompok Minang ini melihat ke arah gunung dan melihat asap api dari kampung Todo. Akhirnya ada 2 orang Minang yang datang. Ke kampung Todo.
Sesampai di Todo, tak lama kemudian ada pemilihan ketua suku. Adapun salah satu orang Minang yang lebih tua tinggal di Waerebo namanya Maro. Maro dijadikan kandidat pemilihan suku. Namun Maro tidak mau karena ingin hidup bebas. Akhirnya Maro pondah dari Todo dan temannya yang menjadi Ketua Suku.
Singkat cerita, suatu hari ada percekcokan antara Maro dengan orang Modo (suku asli di sana). Orang lokal berencana membunuh Maro. Hal ini disebabkan mungkin Maro terlalu arogan. Kemudian orang lokal mengajak Maro untuk berburu. Untungnya, Maro punya kebiasaan kencing tengah malam, ia pun bangun sekitar pukul 2 malam. Maro mendengar bisikan-bisikan dari orang lokal kalau Maro sudah tidur, ia akan dbunuh. Mengetahui hal itu, Maro membangunkan temannya yang orang lokal bernama Bimbang untuk lari.

Dari area Modo mereka naik ke gunung Golo Ponto. Sampai di sana ada 2 persimpangan, ada yang lurus dan ada yg belok. Berbeda pendapat, Bimbang pun pilih jalan lurus, Maro memilih jalan yang belok ke kiri. Maro kemudian sampai di Kampung Ndara (saat ini menjadi kebun – sekitar 1.5jam perjalanan dari Waerebo). Ternyata sudah ada orang yang menghuni Ndara. Beberapa tahun kemudian ada percekcokan antara Maro dengan orang lokal Ndara tentang siapa yang berkuasa (karena sampai duluan). Uniknya, orang asli Ndara justru mengalah dan pergi dari sana, tidak tahu ke mana.
Selang beberapa bulan dan merasa kesepian, Maro berjalan ke Golo Pando (sekitar 20 menit dari Waerebo). Kemudian dia pindah lagi ke Golo Damu. Maro menetap cukup lama di sana. Ia akhirnya mendapat istri dari daerah Lembor. Sejak ia tinggal di sana, sering terjadi hal aneh: ketika ada tamu keluarga dari Lembor, paginya pasti mereka meninggal. Karena hal aneh ini terjadi, Maro tidak terima dan akhirnya dia kembali lagi ke Golo Pando.
Suatu malam, Maro bermimpi dikunjungi seseorang dari sebuah kerajaan. Orang dalam mimpi bilang ‘Pindahlah ke bawah, di situ ada lembah yg lumayan luas dan kamu harus menetap di sana. Saya dtg dr Kerajaan bernama Waerebo. Kelak namakanlah lembah ini Waerebo (Wae artinya air, Rebo tidak dketahui).
Nah, akhirnya sampai sekarang istilah Neka Hemong Kuni Agu Kalo — Waerebo adalah tanah tumpah darah (yang diartikan juga seorang Ibu melahirkan kita dengan mengeluarkan darah).
Well, mungkin karena darah Minang yang ada di penduduk Waerebo, akhirnya rumah dan beberapa filosofi terkait lainnya sangat ‘keibuan’. Nah, lagi-lagi cerita ini saya dengar dan catat dari Marcel yang menemani kami selama stay di Waerebo. Kebenaran dan kevalidan ceritanya juga saya tidak bisa jamin, mungkin nanti kalau sempat main ke sana, bisa ditanyakan lagi sendiri 🙂
Tapi seriously, jauh-jauh ke Waerebo ketemunya sanak Minang juga? Sama kayak kalau ngopi sore di sini, ketemuannya juga sama Kakak-Kakak Minang! 😀
@yosea_kurnianto