Tepat pada hari pendidikan nasional kemarin, aku duduk di kereta yang membawaku menuju ibukota Jawa Tengah. Dalam perjalanan ini, aku diingatkan sebuah masa dalam hidupku yang cukup unik dan membuatku mengenangnya beberapa saat. Cerita ini berawal ketika seorang petugas kereta membagikan koran nasional secara gratis untuk penumpang di gerbong itu.
“Obat ngantuk, geratis. Silakan ini, obat ngantuk geratis” kata petugas yang memakai seragam sama dengan petugas kebersihan di kereta itu. Aku terima koran tersebut, namun tidak langsung membacanya. Aku masih menikmati musik yang kuputar dari handphoneku sembari menunggu kereta melaju lebih kencang.

Setelah kereta melaju beberapa saat, aku mulai membuka lembaran koran tersebut. Aku membaca halaman pertama, kedua, dan beberapa lembar lainnya. Suasana membuka lembar demi lembar koran tersebut membawaku pada sebuah memori saat aku di tahun terakhir masa SMA-ku. Kala itu aku hampir setiap hari ke perpustakaan sekolah untuk membuka lembaran koran macam ini. Hingga setelah ujian nasional usai, aku setiap pagi terus mengunjungi perpustakaan daerah dimana aku tinggal.
Tidak. Bukan saja karena aku ingin mengetahui informasi-informasi paling baru yang ada di bumi Indonesia atau belahan dunia lainnya, tapi ada hal lain yang mendorongku untuk menelusuri lembaran koran tersebut.
Tahun terakhir di SMA merupakan masa-masa kritis yang membawaku pada titik ini. Pertanyaan dari setiap rekan yang kutemui antara lain, dan ini yang paling kutakuti untuk kujawab, “mau lanjut sekolah di mana?”. Kesibukan teman-teman yang membeli formulir pendaftaran perguruan tinggi, mengikuti les untuk tes masuk perguruan tinggi, hingga bepergian keluar kota untuk mengikuti seleksi, cukup mengintimidasiku. Pernah aku minta uang pada Ibuku untuk membeli formulir sebuah universitas negeri yang cukup murah; Ibuku sampaikan bahwa ada prioritas lain yang perlu dilakukan dengan uang itu. Salah satunya tentu untuk makan sehari-hari. Kondisi itu membuatku berusaha untuk mencari jalan, kemana aku harus pergi setelah lulus SMA nanti.
Membuka lembaran koran setiap hari memberiku harapan akan jalan yang mungkin bisa kutempuh itu. Ada banyak informasi lowongan pekerjaan, program pelatihan, maupun beasiswa yang aku harapkan muncul dalam lembaran koran-koran tersebut. Suasana penuh harap itu menjadi semangat tersendiri untuk aku menjalani hari-hari.
Meski akhirnya aku mendapatkan informasi beasiswa hingga akhirnya mendapatkan kesempatan belajar di Ibukota Indonesia tanpa biaya bukan dari koran, pengalaman itu tak akan terlupakan.
Harapan yang kutenun tiap hari untuk dapat belajar lebih banyak di institusi pendidikan yang lebih tinggi sejauh ini menurutku membuahkan hasil yang baik. Setelah aku mulai belajar di institusi pendidikan tinggi, pembelajaran dan kesempatan mengalami perubahan kehidupan dari satu titik ke titik lainnya aku dapatkan lebih banyak. Dan aku yakin akan terus berlanjut dan makin besar.
Sejalan dengan hari pendidikan nasional, aku sendiri menjadi saksi bagaimana pendidikan yang baik dapat mengubah kehidupan orang. Proses pendidikan yang kudapatkan juga sebenarnya tidak saja didapat dari sekolah formal, justru beberapa titik penting lain dalam transformasi kehidupan yang aku alami hingga kini, aku dapatkan dari proses pembelajaran di luar gedung sekolah atau kampus.
Selamat hari pendidikan. Mari kita terus menjadi pembelajar seumur hidup. Terus menenun harapan untuk menjadi manusia yang lebih baik; dan akhirnya mampu untuk menebarkan harapan untuk orang-orang di sekitar kita melalui karya yang kita ciptakan, dalam bentuk apapun.
Harapan itu ada, dan masa depan kita tidak akan pernah hilang.
@yosea_kurnianto