Menyalakan Lilin Kehidupan: Sebuah Interaksi dengan Buku Pendidikan

“Cara berpikir yang mengatakan kekayaan bangsa adalah minyak, gas, tambang, adalah cara berpikir penjajah kolonial. Kekayaan terbesar sebuah bangsa adalah manusianya”. Begitu kira-kira tulisan dalam sebuah gambar dengan foto Pak Anies Baswedan yang di-tweet oleh rekan saya seusai debat capre-cawapres 9 Juni lalu. Bukan dalam konteks mendukung atau tidak mendukung salah satu capres, gambar tersebut mengingatkan saya pada sebuah buku yang dulu saya beli dari sebuah toko buku tua di bilangan Blok M. Saya merupakan salah satu orang yang percaya bahwa pendidikan merupakan senjata yang pelan tapi pasti untuk mengelola kualitas kekayaan sebenarnya dari sebuah bangsa tersebut.

Judul buku tersebut dibahasa-Indonesia-kan menjadi “Pendidikan di Indonesia: Penilaian dan Pedoman Perencanaan”. Pertama kali buku ini terbit tahun 1979 oleh New Zealand Council for Educational Research bekerjasama dengan Oxford University Press. Buku ini ditulis oleh seorang New Zealander saat ia bertugas menjadi konsultan tamu dari Ford Foundation untuk Proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP). PPNP merupakan sebuah misi yang dikerjakan oleh Badan Pengembangan Pendidikan (BPP) bentukan Menteri Pendidikan periode 1968 – 1973, Mashuri Saleh.

ImagePPNP melakukan investigasi dan penilaian pendidikan Indonesia dalam kurang lebih 8 aspek: Gedung, Peralatan, & Buku; Pengajaran dan Guru; Kepemimpinan & Pengawasan; Penentu-Penentu Lainnya; Kurikulum; Arus Murid dan Permintaan Konsumen; Struktur Sistem Persekolahan; serta Struktur Administrasi. Dalam tulisan ini saya tidak akan menceritakan hasil penilaian pendidikan yang ditemukan oleh tim PPNP saat itu secara detail. Saya ingin sedikit berbagi interaksi yang muncul dalam pikiran saya ketika membahas buku tersebut, dalam konteks kehidupan dan dunia kerja di luar sistem sekolah.

  1. Percaya Akan suatu Kebaikan tetapi Tidak Melakukan

Secara garis besar, ada kenyataan yang membuat saya menyadari bahwa titik-titik permasalahan pendidikan Indonesia saat ini belum beranjak jauh dari tahun-tahun tersebut. Seperti misalnya cuplikan tulisan di bawah ini:

“Umumnya di kelas-kelas sedikit sekali dijumpai hal-hal yang mendorong murid-murid untuk menggunakan fantasinya, untuk bertanya, menemukan pemecahan atas masalah-masalah yang mereka hadapi di luar gedung sekolah. Meski kurikulum resmi tahun 1968 mengharuskan cara mengajar yang akan mengembangkan kecakapan-kecakapan tersebut.”

Ada hal menarik yang menunjukkan bahwa fantasi/imajinasi (kreatitivas), kemampuan bertanya, dan kemampuan problem solving yang didengung-dengungkan saat ini sudah dipercaya sebagai hal yang penting sejak tahun-tahun itu.

Berapa banyak kali kita tahu ada hal-hal penting yang harus dimiliki/dikerjakan oleh kita dalam perjalanan hidup atau pekerjaan. Bahkan, mungkin salah satunya adalah tiga hal di atas; tapi kita enggan bergerak atau melakukan sesuatu yang baru untuk mendapatkannya. Jika demikian, kepercayaan akan hal-hal penting itu akan tetap menjadi kepercayaan belaka, bukan menjadi kenyataan yang mengubah hidup kita.

  1. Strategi Mempergunakan Masa Kini untuk Masa Depan

Sedikit sekali tanda-tanda yang menunjukkan SD di Indonesia membantu menumbuhkan potensi seorang murid. Bagi mereka yang bercita-cita untuk mengabdikan hidupnya nanti di bidang ilmu pengetahuan, perguruan tinggi, dan bidang professional, pengaruh dari sekolah yang menjemukan dan tak imajinatif itu tetap terasa”.

“untuk mengambil contoh yang ekstrim, beberapa pelajaran yang diamati di sekolah lanjutan di mana murid hanya mencatat, memakan waktu 30-35 menit dari lama jam pelajaran yang 40 menit”

“Secara keseluruhan kesan yang kita peroleh adalah bahwa rata-rata guru SD sesuai dengan keadaanya tak lebih dari hanya melaksanakan tugas rutin. Jelas hal ini jauh di bawah dari apa yang diperlukan negeri ini.” …

Rangkaian cuplikan kalimat dari C.E. Beeby di atas menghentakkan pesan mendalam dalam diri saya mengenai hubungan antar masa di dalam hidup kita. Apa yang kita lakukan di masa ini akan menentukan siapa dan bagaimana kita di masa yang akan datang. Hanya saja, sebagian besar dari kita kadang-kadang menjalani kehidupan kita sehari-hari hanya sebagai rutinitas belaka. Bahkan kita tidak menyadari bahwa dalam hidup di masa ini, kita memiliki potensi-potensi dan waktu yang bisa kita gunakan dan kembangkan.

Jika kita menyadari bahwa waktu yang kita jalani saat ini tidak akan bisa terulang lagi, dan mengerti bahwa kita masih memiliki potensi yang besar untuk berkembang, semestinya kita hidup bukan menjalani rutinitas saja. Ada kalimat yang menggugah hati saya dari buku lain, berkata ‘memang kita bernafas setiap hari; tapi di sebagian waktu dalam hidup, kita tidak menyadari bahwa kita bernafas secara otomatis; sehingga hanya sebagian waktu kecil saja dalam hidup, kita berusaha untuk memaknai proses bernafas ini’.

Sungguh alangkah indahnya jika kita terus mencoba untuk membuat hidup kita bukan sekedar rutinitas. Tentu kita akan lebih mampu memaknai kesempatan kita untuk terus bernafas dan mengembangkan potensi kita.

  1. Menggunakan Standar Kehidupan Orang Lain

Belakangan bulan ini, jika perhatikan aktivitas dunia maya memperlihatkan gejolak dari para pemerhati dan aktivis pendidikan yang menolak Ujian Nasional sebagai sebuah standar kelulusan (#TolakUN). Dalam tulisan C.E. Beeby ini, disebutkan bahwa dimulai pada tahun 1971, Indonesia pernah menghapuskan Ujian Nasional (standardized test) dan menyerahkan pada setiap tingkat sekolah. Namun kendala saat itu adalah ragam tes masuk universitas yang terlampau berbeda dalam segi kualitas dan kuantitas. Sehingga masyarakat dan para pelaku pendidikan khawatir mereka tidak bisa mengukur kualitas pendidikan Indonesia dengan baik. Pada sekitar tahun 1980 diadakanlah kembali ujian nasional yang kala itu disebut EBTANAS.

Memang benar dalam pekerjaan kita, kita membutuhkan standar-standar pencapaian yang perlu terus dijaga atau ditingkatkan. Tapi itu tidak selalu berarti kita perlu berupaya untuk mengganti siapa dan bagaimana diri kita. Penentuan standar kehidupan diri kita, saya rasa membutuhkan kemampuan penguasaan diri yang baik. Apabila kita telah mampu menguasai diri kita, kita tidak perlu risau dengan standar-standar yang ditentukan oleh orang lain untuk hidup kita.

Mahatma Gandhi menyampaikan bahwa “Happiness is when what you think, what you say, and what you do are in harmony.” Penguasaan diri akan mampu membawa kita kepada keharmonisan pribadi yang berbahagia. Hidup kita, kita yang tentukan.

  1. Menjadi Pribadi yang Bertumbuh dan Berdampak

Sebagai penutup rangkaian interaksi saya dengan buku tersebut, saya akan menggunakan cuplikan saran dari C.E. Beeby di akhir bukunya mengenai penentuan tujuan pendidikan:

“Untuk jangka pendek, perubahan dramatis fungsi-fungsi sekolah secara keseluruhan hanya akan terjadi apabila ia mencerminkan gerakan-gerakan dewasa dan tidak dangkal

“Untuk jangka panjang, sekolah yang baik lambat laun akan menaikkan standar masyarakat, meskipun mungkin dengan cara yang tak disangka oleh mereka yang menyusun rencana pendidikan itu sendiri”

Apabila kita mencoba mengganti kata “sekolah” dan “pendidikan” dengan “saya” dan/atau “perusahaan saya”, kita akan sangat terbantu untuk melakukan sebuah refleksi mengenai keberadaan diri kita. Saya berinteraksi cukup lama pada bagian ini. Apakah kehidupan saya selama ini telah mencerminkan gerakan-gerakan dewasa dan tidak dangkal? Apakah kehidupan saya selama ini telah membantu menaikkan standar (kehidupan) masyarakat atau orang-orang di sekitar saya?

Seseorang yang terus berusaha untuk ‘mempertanyakan diri’nya, menurut saya akan semakin dimampukan untuk mengeksplorasi diri dan memaksimalkan waktu yang ia miliki untuk terus bertumbuh dan memberi dampak. Tetapi di atas semuanya itu, kita perlu menyadari bahwa memang ada hal-hal yang ditetapkan untuk tidak terjadi meskipun kita berusaha melakukan apa-pun. Sekali lagi, penguasaan diri akan berperan penting dalam proses perjalanan kita bertumbuh dan berdampak.

Saya masih terus berinteraksi dengan bagian-bagian dari buku ini; juga dengan banyak hal lainnya. Interaksi ini membuat saya menyadari hal-hal yang mungkin tak tampak oleh mata kita. Mata kita seringkali melihat kehidupan hanya dari apa yang tampak-tanpa melihat alasan atau cerita di balik object-object; sehingga seringkali tampak gelap akan permasalahan-permasalahan hidup. Saat kita melihat gelap, tentu lebih baik untuk menyalakan sebuah lilin daripada mengutuk kegelapan itu. Tahukah bahwa lilin-lilin itu adalah hidup kita?

@yosea_kurnianto

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s