Isi dari tulisan ini sebenarnya pernah saya bagikan lewat akun twitter saya @yosea_kurnianto dengan tagar #generasibabu beberapa hari yang lalu. Hanya saja, saya masih ingin menuliskannya kalau-kalau ada rekan lain yang mungkin tertarik membaca 😉
Beberapa malam yang lalu ada saudara saya yang berkegiatan di Jakarta (beliau seorang seniman; pelukis). Kami pun melakukan semacam nongkrong di sebuah coffee store di bilangan Jakarta Selatan. Obrolan seputar keluarga pun tak bisa dihindarkan, beliau menceritakan bagaimana beliau membangun keluarga barunya yang kini dengan seorang istri dan 2 orang anak. Mengetahui saya cukup tertarik dengan dunia pendidikan, beliau juga meminta saran mengenai bagaimana ia harus memberikan pendidikan pada anak-anaknya.
Obrolan malam itu cukup menarik, sehingga beliau bertanya pada saya, ‘Yos, saya ndak habis pikir. Coba kamu ceritakan dari sisi kamu, gimana orang tua kamu yang menurut saya punya kepemimpinan (sebagai orang tua) yang standard bisa merubah generasi keluarga. Dari dulu kan generasi babu’.
Saya sontak menyeringaikan alis ketika mendengar istilah ‘generasi babu’ yang selama ini memang belum pernah terpikirkan oleh saya. Memang benar bahwa nenek saya, tante, dan banyak dari keluarga saya menjadi pembantu rumah tangga; bahkan Ibu saya juga pernah menjadi pembantu rumah tangga. Tetapi selama ini saya tidak pernah merasa saya lahir dari generasi babu. Ini membuat saya merenung di beberapa malam terakhir.
Ada beberapa hal yang luar biasa, dalam ke-standtard-an cara orang tua saya yang membesarkan saya, mereka menanamkan nilai-nilai di atas ‘standard’. Yang paling berkesan adalah, mereka tidak pernah mengajari saya (dan saudara saya) soal harga dari sebuah benda. Mereka membuat kami belajar memahami nilai dari benda tersebut. Kondisi terbatas membuat kami memiliki pengalaman bagaimana berdiskusi soal memanfaatkan serta mendayagunakan apa yang kami miliki dan bagaimana kami meningkatkan nilainya.
Berasal dari ‘generasi babu’ memang tidak membuat saya memiliki jiwa kompetisi yang kuat. Tentu memang kondisi tersebut membuat saya agak minder dan tidak begitu yakin saya bisa lebih baik dari yang lain. Namun, kondisi tersebut membuka pintu pemahaman saya mengenai arti melayani dan memberikan yang terbaik, serta semangat untuk berkolaborasi. Jiwa melayani ini yang justru di kemudian hari saya temukan sebagai esensi dari sebuah konsep kepemimpinan. Hingga saya temukan dalam Kitab Suci agama saya, ‘barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan; dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan’.
Hal lain yang menurut saya membanggakan dari orang tua saya adalah, mereka memberikan kesempatan kepada kami, 7 bersaudara ini, untuk ‘mengalami’ / ‘experience’ setiap keputusan yang kami ambil dan bertanggungjawab atas konsekuensi dari setiap keputusan kami. WOW! Saya bersyukur orang tua saya tidak melarang ketika saya ikut kegiatan Pramuka, ketika saya pergi beberapa hari ke gunung, ketika saya mulai berorganisasi, ketika saya mengambil tawaran beasiswa yang justru kedua orang tua saya tidak merekomendasi (ayah saya pilih beasiswa pelayaran, ibu saya pilih beasiswa perkebunan, saya pilih beasiswa jurusan pendidikan dari Putera Sampoerna Foundation). Maksud saya, ketika saya alami setiap konsekuensi dari keputusan saya sendiri, saya tidak menyesali waktu-waktu saya yang telah berlalu.
Transformasi dari ‘generasi babu’ menjadi ‘generasi pelayan’ terjadi pada keluarga kami. Itu terjadi karena saya percaya, orang tua saya memahami bagaimana memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anaknya, meski dalam kondisi terbatas. Mereka memahami bahwa pendidikan yang memanusiakan manusia bukan saja hanya terjadi dalam sekolah; tapi dalam setiap detik hidup kami.
Setiap Kamis sore dan Minggu pagi kami dibawa ke ‘Sekolah Minggu’ dimana anak-anak mendapatkan pelajaran hidup dan roh lewat kisah-kisah dari Alkitab. Setiap saat kami membutuhkan perlengkapan untuk Pramuka atau aktivitas kami lainnya, Ibu saya memang sering ‘marah-marah’, ia bilang ‘kok kegiatan bikin keluar uang terus sih?’; tapi akhirnya ia mengambil simpanannya dan memberikan pada kami. Ini membuat saya menyadari bagaimana ia mengatur segalanya untuk tetap ada. Setiap saat kami mendapatkan prestasi, justru orang tua saya bilang, ‘kamu hebat ya, bapak dan ibu tidak pernah ajarin apa-apa’. Bahkan sempat mereka sampaikan pada saya, ‘maaf ya ibu dan bapak ga bisa kasih banyak hal’.
Alamak! Saya justru bersyukur pernah alami hal-hal yang banyak orang takuti; yakni bertumbuh dalam keterbatasan. Tetapi situasi tersebut benar-benar menempa saya untuk membuka hati dan pikiran sehingga memahami banyak hal. Saya merasa tidak pernah malu berasal dari ‘generasi babu’; tapi dari kondisi tersebut, saya merasa malu jika saya tidak lakukan apapun untuk transformasi ini.
Jika satu di antara kita memiliki kesempatan untuk tumbuh dari kondisi yang sama, atau lebih terbatas; jaga hati supaya tetap mengerti bahwa segala sesuatu memiliki maksud dan tujuan. Tetapi jika satu di antara kita tidak memiliki kesempatan itu, pahamilah, bahwa setiap detik dalam kehidupan kita adalah proses pendidikan. Mungkin suatu saat kita dipertemukan dengan orang yang putus asa karena kondisinya, tolong sampaikan, bahwa ia punya harapan.
Teruntuk para orang tua, berikan pendidikan yang baik, bukan cuma coal sekolah ‘bintang lima’, tapi juga mulai dari budaya keluarga. Karena pendidikan paling esensi yang diterima generasi bangsa berasal dari orang tuanya. Tanamkan bagaimana anak-anakmu memahami nilai dari setiap apa yang dipunyainya, bukan sekedar harga.
@yosea_kurnianto
Terimakasih kepada keadaan. Karenanya kita belajar banyak hal. Selamat bertumbuh.